Monday, February 2, 2009

Amarah Bukan Pilihan


Kecewa dengan lalu-lintas yang sangat padat? Banyak waktu terbuang di jalan? Jangan marah. Pengendalian diri justru lebih menguntungkan.

Kondisi lalu-lintas di Jakarta dan kota-kota besar lain semakin hari kian padat. Jumlah mobil yang membeludak sulit diimbangi oleh luas dan panjangnya jalan. Terkadang kita bisa terjebak di dalam lalu-lintas yang bergerak sangat lambat, bahkan cenderung macet, hingga berjam-jam lamanya. Itu ditambah dengan perilaku sopir angkutan kota, bus kota, juga mobil pribadi, yang serampangan. Apalagi bila para pengendara motor turut menambah ruwet suasana dengan manuver-manuver yang tak terduga. Masalah juga bisa diperparah dengan tidak berfungsinya lampu lalu-lintas atau adanya genangan air di jalan. Kesemua itu wajar bila membuat kita merasa tertekan (stressed), sehingga menjadi gelisah, kesal, dan mudah marah.


Belum lagi bila ada persoalan di kantor atau di rumah yang belum beres. Wah, wah, wah... begitulah konsekuensi menjadi warga kota besar. Sayangnya, tidak semua orang dapat mengendalikan diri, dan orang itu dapat berlaku agresif di jalanan. Artinya, dia membahayakan orang lain dan dirinya sendiri. Menurut Maya Harry Mpsi, seorang praktisi psikologi dari PT Menara Lima, sebuah konsultan bidang psikologi, “Penumpukan hingga pelampiasan emosi di jalanan disebabkan oleh stress. Penumpukan ini juga ditunjang oleh faktor tinggal di kota besar, seperti Jakarta, yang memang penuh dengan tekanan. Akhirnya, kondisi ini dapat mempengaruhi gaya mengemudi seseorang.”


Memaki-maki, menggerutu, membanting setir, adalah beberapa contoh dari tindakan yang biasa dilakukan. Tindakan ini disebut dengan ‘burn out’. Maya mengibaratkan ‘burn out’ seperti sebuah bohlam yang meledak karena kelebihan beban. Seperti halnya pada manusia, semakin besar beban stress yang men--deranya, maka semakin besar luapan emosi yang dapat meledak. Tingkatan yang lebih tinggi dari ‘burn out’, diistilahkan apatis, yaitu ketidakpedulian pada lingkungan sekitar. Seorang pengemudi yang sudah apatis dapat saja meninggalkan kendaraannya di jalanan (kondisi ini cukup jarang terjadi). Ketika ‘burn out’ terjadi, pengemudi cenderung melampiaskannya ke orang lain secara merugikan. Wujud pelampiasan itu bisa menjadi gaya mengemudi yang agresif, hingga ‘intermittent explosive disorder’ atau ‘road rage’ yang dapat berujung pada konfrontasi fisik.


Gaya Mengemudi yang Agresif

Secara umum, kita sering mendefinisikan gaya mengemudi yang agresif sebagai amarah di jalan raya (road rage). Namun, kenyataannya, kedua hal tersebut berbeda. Gaya mengemudi yang agresif adalah pelepasan emosi yang diwujudkan dengan cara mengemudi. Kondisi ini biasanya hanya berujung pada pelanggaran lalu-lintas atau kombinasi dari pelanggaran berkendara seperti menempel atau memepet pengemudi lain, memacu dan menghentikan kendaraan secara tidak aman, berpindah jalur yang tidak aman (zig-zag), tidak memberikan sinyal saat berpindah jalur atau akan membelok, mengklakson secara sporadis, dan banyak bentuk mengemudi yang tidak hati-hati lainnya.


Amarah di Jalan Raya

Di sisi lain, kemarahan di jalan raya adalah pelanggaran kriminal. Hal ini terjadi ketika gaya mengemudi agresif meningkat atau direspon negatif, sehingga menjadi situasi yang jauh lebih serius. Biasanya, kemarahan di jalan raya dipicu oleh hal-hal sepele. Sebagai contoh, seseorang mungkin menjadi sangat marah akibat berulang kali diklakson, atau melihat pengendara lain yang berzig-zag di padatnya lalu-lintas.

Ketika terjadi tabrakan atau senggolan, maka reaksi yang timbul dapat berujung pada konfrontasi fisik, baik memakai senjata ataupun tangan kosong, atau pun non fisik seperti menabrakkan kendaraan miliknya ke kendaraan lain. Kondisi semacam ini harus dihindari, meskipun tidak mudah dilakukan. Sebagai gambaran, di Amerika Serikat, melalui survei yang dilakukan National Institute of Mental Health tahun 2001-2003, ada 16 juta orang mengidap intermittent explosive disorder. Angka ini akan terus meningkat dan berujung pada kontribusi terhadap tingginya tingkat kriminalitas di jalan raya.


Bagaimana Mencegahnya?

“Tenang dan mengendalikan diri adalah kuncinya,” ungkap Maya. Bagi segelintir orang, kedua hal tersebut bisa jadi cukup berat. “Namun, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan,” papar Maya yang mengambil gelar master psikologinya di Universitas Indonesia. Salah satunya adalah dengan manajemen amarah (anger management).


Tujuan dari manajemen amarah adalah mengurangi rasa emosional dan stimulasi yang disebabkan oleh amarah. Anda mungkin tidak bisa menghilang--kan atau menghindari hal-hal yang dilakukan orang lain yang dapat membuat Anda marah. Anda juga tidak bisa mengubahnya, tapi Anda dapat belajar untuk mengontrol reaksi Anda. Caranya adalah,

1. Atur napas Anda.

2. Menghitung 1-10 sebelum melakukan sesuatu.

3. Melakukan relaksasi otot. Kepalkan tangan dan lepaskan selama beberapa detik.

4. Melakukan afirmasi positif. Motivasi diri Anda secara positif.


Hal lain yang dapat kita lakukan adalah menerapkan Spiritual Emotional Freedom Technique. Teknik ini adalah gabungan dari,

1. Relaksasi.

2. Memberi nilai masalah yang dialami. Misalnya, kita menilai masalah kita yang diakibatkan kondisi kemacetan.

3. Mengusap-usap dada kiri (titik nyeri), sambil mengucapkan kata-kata positif. Umpamanya, “saya pasrah terhadap keadaan ini.”

4. Ketuk-ketuk titik syaraf relaksasi seperti di ubun-ubun, dahi, tengah ujung jari, dan titik karate (bagian telapak tangan yang lurus dengan jari kelingking).

Selamat mencoba. Dan pengendalian diri akan membuat kita selamat untuk berjumpa kembali dengan keluarga kita dan orang-orang yang kita cintai.

Reza Erlangga

No comments:

Post a Comment